Kamis, 23 April 2009

Al Manar Siap Jadi Media Partner NU

Jakarta, NU Online


Keinginan pimpinan Representatif TV Al Manar Indonesia untuk bekerjasama dengan kalangan Nahdlatul Ulama (NU) baik dalam memasarkan gagasan global maupun pemberdayaan umat Islam Indonesia, tidak bertepuk sebelah tangan.

Kehadiran TV ini mendapatkan apresiasi dan respons positif dari kalangan ’Nahdliyin’, sebutan untuk warga NU.

Dalam sebuah pertemuan di Bilangan Jakarta pada pertengahan pekan lalu, yang dihadiri oleh pimpinan TV Al Manar, pakar dan praktisi IT serta komunikasi NU dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Institut Pertanian Bogor (IPB), mengemuka harapan agar media ini dapat dimanfaatkan sebagai sarana pemberdayaan Nahdliyin.

Pimpinan Al Manar Indonesia Habib Ali Asseqaf menegaskan, pihaknya bersedia menjadikan Al Manar sebagai sarana pemberdayan umat. Bahkan, pihaknya pun tidak keberatan untuk merekrut SDM berkualitas dari kalangan NU.

”Kami ingin NU, Muhammadiyah, Syi’ah dan yang memiliki pandangan sama dalam melihat pentingnya dakwah melalui jalur kultural, bersinergi dan memanfaatkan media ini untuk menyuarakan kepentingan perjuangan dunia Islam,” kata Ali.

Pengamat dan Praktisi IT dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Ifan Haryanto, menyampaikan, kehadiran Al Manar dapat menjadi media alternatif di tengah kejenuhan pemirsa TV Indonesia terhadap aneka tayangan yang disiarkan oleh TV-TV swasta.

”Kita membutuhkan kehadiran TV yang dapat menyiarkan tayangan-tayangan yang edukatif dan inspiratif. Kecenderungan tayangan TV di Indonesa sangat seragam. Al Manar dapat menjadi alternatif dan penyeimbang,” harapnya.

Hal senada disampaikan oleh pakar IT dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Kikin A. Hakim. Menurut dia, TV-TV di Indonesia dikendalikan oleh lembaga rating yang berbasis di Amerika, yakni Nilsen Media Riset. Wajar saja jika kecenderungannya sama. Umumnya menyiarkan tayangan yang bernuansa infotainment, sadis (kriminal), misteri hingga pornografi.

“Fenomena yang ditayangkan sinetron di berbagai TV swasta, tidak sepenuhnya menggambarkan realitas kehidupan masyarakat. Hanya sebagian kecil yang hidup di kota-kota besar saja yang merasa terakomodir, sedangkan yang lainnya tidak. Karena itu saya kira kita sudah saatnya tidak bergantung pada rating, namun lebih memerhatikan aspek kemaslahatan publik,” imbuhnya.

Karena itu, sambung Kikin, pihaknya sedang mempersiapkan pendirian sebuah TV lokal di Jawa Timur yang berpusat di Surabaya. Kehadiran TV lokal ini diharapkan dapat menjadi media edukasi bagi warga Jawa Timur.

Selain itu Kikin juga menyampaikan, pihaknya siap bermitra dengan TV Al Manar.

Secara terpisah, Pimpinan Pesantren Tebuireng Jawa Timur, KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah), menimpali, dirinya pun merasa jenuh dengan fenomena tayangan yang disiarkan oleh TV-TV swasta di Tanah Air.

Dia memberi contoh, dalam kasus mutilasi Ryan, semua TV mengeksploitasi pemberitaan tersebut, sehingga menimbulkan kesan seolah-olah tidak ada tayangan berita lain yang lebih edukatif yang dapat disirkan. Hal ini menimbulkan image bahwa TV lebih mengejar rating dan mengesampingkan aspek-aspek lain seperti aspek sosial maupun edukasi.

”Saya kira kita membutuhkan kehadiran TV yang dapat menyuarakan kepentingan masyarakat. Kehadiran TV bernuansa Islam seperti Al Manar maupun TV-TV lokal yang mulai tumbuh di berbagai penjuru Tanah Air, diharapkan sebagai wahana untuk memberikan pendidikan yang baik bagi masyarakat,” papar alumnus ITB ini.

Sementara itu praktisi media dari IPB, Ahmad Fahir menambahkan, terjadinya ketimpangan dunia penyiaran nasional, karena lemahnya partisipasi dan pengawasan publik. Pasalnya selama ini pemirsa hanya menjadi objek pasif dunia penyiaran. Pemirsa belum mampu membangun posisi tawar yang kuat.

”Pemirsa TV nasional kecenderungannya mengikuti apa yang disiarkan TV. Munculnya kritik terhadap praktik penyiaran belum terkanalisasi secara sistematis, sehingga tidak dapat memberikan kontrol yang efektif,” papar mahasiswa program Magister Komunikasi Pembangunan Pascasarjana IPB ini.

Padahal, lanjut Fahir, ketika peran kontrol oleh negara sudah dicabut, kontrol sesungguhnya ada di masyarakat. Dalam posisi sebagai pasar media, masyarakat memiliki kewenangan penuh untuk ikut menentukan warna dan arah dunia penyiaran nasional. (hir)

courtessy : www.nu.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar