Jumat, 10 April 2009

Muktamar NU ke Depan harus Hasilkan Visi Baru

Jakarta, NU Online


Wakil Rais Aam PBNU KH Tolhah Hasan berharap Muktamar ke-32 NU yang akan berlangsung di Makassar Januari tahun depan mampu menghasilkan sebuah visi baru dan peranan yang lebih besar bagi kehidupan muslim di Indonesia.

“Jangan sampai muktamar yang menghabiskan biaya besar ini tak sekedar mempromosikan tokoh dan tak ada amanat yang jelas. Jangan sampai mubadzir,” katanya kepada NU Online, Rabu (4/2).

Dikatakannya, dalam periode saat ini, banyak sekali kelemahan yang tidak perlu dilanjutkan pada masa mendatang. “NU harus mampu mengevaluasi tantangan apa yang akan dialami 10 tahun ke depan dan kualifikasi kepemimpinan apa yang dibutuhkan. Ini harus mulai dirumuskan,” terangnya.

Mantan Menteri Agama ini menunjukkan beberapa persoalan seperti pesantren yang saat ini kekurangan kiai, padahal pada masa lalu adalah sumber tokoh agama, namun kini berubah jadi menghasil politisi, program pelayanan kesehatan NU juga tidak jelas. Demikian pula dalam pemberdayaan ekonomi, belum ada visi apakah akan mengembangkan ekonomi pertanian atau ekonomi jasa.

“Perlu dilakukan pemikiran secara jernih, bukan pendekatan yang ad hoc. Kalau ada masalah baru bereaksi. Kita perlu mengantisipasi perkembangan yang akan datang, dan bagaimana menyelesaikannya,” tandasnya.

Untuk melakukan perubahan ini, Tolhah yang tahun ini sudah 50 tahun menjadi pengurus NU mulai dari tingkat ranting ini berpendapat sumber daya manusia yang akan menjadi pengurus NU harus mendapatkan perhatian serius. “Kita memerlukan para pemimpin dari pusat sampai ke daerah dengan karakter yang lebih kuat, orang yang mau mendahulukan kepentingan NU diatas kepentingan pribadi,” tegasnya.

Sebenarnya, banyak tokoh NU yang mumpuni untuk mengelola NU. Sayangnya, tradisi pengangkatan pengurus NU didasarkan pada orang NU yang sebelumnya sudah pernah menjadi pengurus. “Berani tidak kita merubah paradigma ini karena sebenarnya banyak orang luar yang patut dipromosikan,” ujarnya.

Mantan Rektor Universitas Islam Malang ini menjelaskan kepemimpinan peran NU bisa dilihat dari semakin tidak didengarnya lagi para pemimpin NU. Dalam berbagai Pilkada, suara kiai atau tokoh NU, suara yang disampaikan kiai bukan yang dipilih oleh masyarakat.  

“Ini salah satu indikasi suara pemimpin di dalam NU sudah megalami pelapukan pengaruh. Tapi banyak yang tidak mau jujur untuk mengakui hal ini,”terangnya.

Dari pengalamannya berorganisasi selama lima puluh tahun ini, NU masih mengandalkan figur, bukan sistem sehingga ketika orang yang memimpin kreatif, organisasi berjalan dengan baik, jika yang terjadi sebaliknya, NU menjadi stagnan. 

“Di masa mendatang harus mengandalkan pada sistem, bukan figur. Bank tetap solid siapapun yang menjadi pegawainya karena sistemnya sudah berjalan dengan baik. Organisasi harus seperti itu. Kalau hanya mengandalkan kharisma figure, akan stagnan atau mengalami kemunduran,” katanya memberi contoh.

Upaya pengkaderan saat ini menurunya juga harus diperbaiki agar mampu menghasilkan calon-calon pemimpin yang memahami tantangan zamannya dengan baik, bukan orang yang berfikir dengan pendekatan lama. 

“Jika NU tidak mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat yang membuat kehadirannya dianggap penting, tunggu saja nasib NU seperti nasib ormas Islam lain yang sudah tenggelam,” jelasnya. (mkf)

courtessy : www.nu.or.id

1 komentar:

  1. yupppz,,,ad kemajuan nie,,ipnu/ippnu ranting kajen,,,keep fight bro,,,

    BalasHapus