Jumat, 03 April 2009

Muktamar NU Melintas Batas

28/01/2009 


Keputusan rapat gabungan Syuriyah-Tanfidliyah PBNU yang memutuskan Muktamar NU ke-32 akan diselenggarakan di Makassar Sulawesi Selatan adalah merupakan terobosan penting yang dilakukan organisasi ulama pesantren dan kaum Ahlussunnah Waljamaah ini. Ini penting sebab NU telah menyebar ke seluruh wilayah Nusantara, tetapi selama beberapa dasawarsa ini muktamar sebagai sarana penyiaran dan konsolidasi NU hanya diselenggarakan di ulau Jawa. Padahal sejak awal muktamar NU telah dikembangkan ke daerah luar Jawa, terutama di kantung-kantung Ahlussunnah Waljamaah yang ada di sana.

Mengapa Kiai Wahab Chasbullah harus menunggu restu dari KH Hasyim Asy’ari untuk mendirikan Nahdlatul Ulama, walapun Kiai ini sebelumnya telah mendirikan Nahdlatut Tujjar, Nahdlatul Watan dan Taswirul Afkar, tanpa menunggu restu secara khusus dari ulama mana pun. Kiai Wahab memang sangat energik, memiliki kemampuan organisasi yang baik, bahkan pernah masuk Sarekat Islam meski merasa tidak kerasan di situ. Salah satu alasannya adalah karena melihat ada kekuatan lain yang bila dikelola akan menjadi kekuatan besar tak tertandingi, yaitu kekuatan ulama.

Walaupun memiliki kemampuan organisasi yang tinggi, tetapi Kiai Wahab sadar betul bahwa simpul jaringan Islam Nusantara tidak berada di tangannya, melainkan ada di bawah kendali KH Hasyim Asy’ari, terutama sejak Makkah dikuasai oleh aliran Wahabi mulai tahun 1924 M. Restu dan keaktifan Kiai Hasyim akan memudahkan gerakan Kiai Wahab untuk membuat organisasi berskala Nusantara, tidak seperti sebelumnya yang hanya berskala Jawa atau bahkan hanya Surabaya.

Sementara Kiai Hasyim sendiri juga merasa bahwa ia juga memiliki senior yang juga turut memegang simpul jaringan Islam Nusantara yaitu KH Cholil Bangkalan Madura. Untuk itulah, walaupun telah setuju dengan usulan Kiai Wahab, Kiai ini masih menunggu restu dari Kiai Cholil. Ketika restu itu diberikan, maka Nahdlatul Ulama segera dimaklumatkan berdirinya. Benar dugaan Kiai Wahab, setelah Kiai Hasyim terlibat, maka seluruh jaringan yang dimiliki Kiai hasyim Asy’ari yang ada di seluruh pelosok Nusantara menyatakan ikut dalam organisasi Nahdlatul Ulama. Maka tidak heran dalam Muktamar pertama dan kedua sudah diikuti oleh berbagai utusan dari beberapa wilayah Nusantara.

Perkembangan ini bisa dilihat dalam penyelenggaraan Muktamar. Setelah Muktamar ketiga tidak lagi diselenggarakan di Surabaya, tetapi mulai keluar dari tanah kelahirannya menuju Semarang (1929), tahun berikutnya Muktamar dilaksanakan di Pekalongan (1930). Tahun Berikutmya telah meluas lagi ke Cirebon (1931) yang merupakan pendukung militan NU sejak berdiri. Setelah itu Muktamar ke-7 diadakan di Bandung (1932), seterusnya sampai merambah ke pusat Ibu Kota Jakarta (1933). Bahkan Muktamar ke 11 kemudian dilaksanakan di Banjarmasin Kalimantan Selatan (1936), kota ini merupakan basis Ahlussunnah yang sangat kuat, yang mendukung NU sejak berdiri. Muktamar NU ini sengaja untuk menyebarkan NU dan sekaligus mengkonsolidasi kekuatan Ahlusunnah, karena itu Muktamar NU ke 19 diadakan di Palembang tahun 1952. Beberapa tahun berikutnya Muktamar ke 21 tahun 1956, diselenggarakan di Medan, sumatera Utara, Karena di sana basis aswaja juga sangat kuat.

NU bukanlah organisasi baru yang baru muncul tahun 1926, melainkan sebuah jaringan lama yang muncul sejak beberapa abad sebelumnya, karena ini merupakan tradisi pemikiran, tradisi keagamaan dan juga tradisi politik yang sudah terlembaga secara kuat sejak beberapa ratus tahun yang lalu, yakni sejak masuknya Islam ke Nusantara ini yang dibawakan oleh para ulama ahlusunnah yanga tersebar sejak dari Aceh sampai Ternate. Sehingga jaringan itu begitu saja bangkit ketika dibangkitkan oleh ulama yang memegang simpulnya, yaitu KH Hasyim Asy’ari yang memegang jaringan kultural, dan Kiai Wahab Chasbullah yang piawai dalam mengelola jaringan struktural.

Para ulama se-Nusantara ini sebenarnya adalah satu ikatan akidah, ikatan madzhab dan bahkan ikatan keluarga. Hampir seluruh ulama pendiri NU adalah masih keturunan Walisongo baik Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus dan sebagainya. Sementara para ulama NU di Luar Jawa juga keturunan Wali yang ada di sana seperti Hamzah Fansuri, Abdushomad al-Palimbangi, Arsyad Albanjari. Sementara ulama NU yang ada di Sulawesi juga keturunan para penyebar Islam Awal, sejak agama ini diperkenalkan di wilayah ini oleh dua santri Sunan Giri (Gresik), yang berasal dari Minagkabau yaitu Datuk ri Bandang yang diutus Sunan Giri untuk memperkenalkan Islam ke wilayah itu pada abad ke-16, yang akhirnya juga beranak pinak di sana.
 
Para kiai Yang ada di Sulawesi selatan baik di Sengkang, Wajo, Pare berkawan dekat baik dengan para kiai yang ada di Jawa yang kemudian mendirikan NU, seperti Kiai As’ad dari Sengkang misalnya yang telah berkenalan lama dengan para ulama di Jawa. Sehingga ketika NU didirikan mereka ikut terlibat. Oleh karena itu ketika secara resmi NU diperkenalkan oleh KH Wahid Hasyim pada Awal 1950-an, maka kehadiran organisasi NU diterima secara baik oleh masyarakat di sana, tidak hanya kalangan ulamanya, tetapi juga diterima oleh kalangan bangsawan dan raja, sehingga NU bisa cepat menyebar di sana. Ini tidak lain karena jaringan Ahlussunnah juga telah menyebar di sana.

Bahkan jauh sebelum itu, sebenarnya aliran Aswaja telah menjadi nafas Islam di Sulawesi Selatan, yakni sejak awal kedatangan Islam ke kerajaan Gowa dan Bone. Ketika para dai keturunan Arab yang diperkirakan datang pada awal abad ke enam belas telah banyak menikah dengan para bangsawan setempat dan melahirkan banyak sekali generasi Islam pribumi pertama. Generasi pertama para penyebar Islam yang datang ke Makassar adalah Syeikh Jumadil Kubra, salah seorang saudara dari Maulana Malik Ibrahim yang menetap di Jawa Timur. Sejak saat itu, mulailah banyak di kenal nama-nama arab kelahiran Sulawesi Selatan. Di sana kemudian berkembang spiritualitas Islam melalui pengajaran-pengajaran Thariqat dan telah dikenalnya hukum Islam dalam disiplin fikih. 

Karena perkembangan keagamaan mesti dibutuhkan topangan berupa lembaga pendidikan, maka pesantren kemudian menjadi sentra pendidikan kader. Sejalan dengan para Walisongo yang telah mulai memasyarakatkan Islam ke level masyarakat terendah di Jawa, maka di Makassar pun kita telah mengenal Pesantren Bontoala. Pesantren ini telah melahirkan berbagai kader ulama handal, baik tingkat lokal hingga internasional. Salah satu di antara ulama alumni Pesantren Bontoala yang paling terkenal adalah Syeikh Yusuf al-Makassari, seorang bangsawan yang pernah menjadi Qodhi di Kesultanan Banten, dan gigih melawan penjajahan Belanda hingga diasingkan ke Afrika Selatan oleh pemerintah kolonial. Para ulama alumni pesantren Bontoala inilah yang kemudian menyebarkan Islam ke seluruh pelosok Sulawesi Selatan. Pesantren As’adiyah dan Madrasah Amiriyah adalah bukti bahwa NU tidak pernah surut dari Sulawesi Selatan. 

Sementara itu, seiring berangsurnya waktu, mulai timbullah berbagai pesantren di sana. Pesantren generasi kedua yang paling populer adalah Pesantren “Pengajian Pulau Salemo”. Pengkaderan ulama ini bertempat di sebuah pulau bernama Salemo. Selain mengaji dan memperdalam ilmu agama, sebagaimana di tempat-tempat lainnya di Nusantara, para santri di sini adalah para pejuang kemerdekaan. Dari oengajian Pulau Salemo ini kita mengenal generasi Anregurutta Ambo Dalle, Puang Rama, dan K. Ahmad Bone. Sejak tahun 1920-an mereka intens membangun komunikasi pergerakan dengan para santri di Jawa. sehingga ketika di Jawa didirikan Nahdlatul Ulama (NU)pada tahun 1926, maka para santri di Makassar ini pun kemudian turut bergabung, meski sebenarnya di sana mereka juga memiliki perkumpulan bernama Rabithatul Ulama (RU) dan Dewan Dakwah wal-Irsyad (DDI).

Dengan demikian, sungguh keaswajaan, bahkan ke-NU-an sebenarnya telah menjadi darah daging dalam sejarah Islam di Sulawesi Selatan. Perkembangan fikih dan tradisi Tharikat, termasuk perjuangan para ulamanya, adalah bukti keaswajaan yang sahih bagi masyarakat di sana. Bahkan ketika NU sedang bergulat dengan sejarahnya,. Para ulama dari Sulawesi Selatan selalu ambil bagian dalam proses sejarah tersebut. Tentu nama KH Sanusi Baco, sorang tokoh yang turut membidani lahirnya Khittah 1926 NU pada tahun 1984 di Situbondo. Nama-nama seperti Andi Mappanyuki, KH Muhtar Nur, KH Kharitsah, KH Hafidh Yusuf, Rahim Assegaf (Puang Makka), Yunus Martan, serta Muis Kabri juga merupakan salah satu bukti bahwa Aswaja dan NU adalah bagian integral bagi Islam di Sulawesi Selatan.

Sebenarnya Penyelenggaraan Muktamar di wilayah ini akan membangkitkan kekuatan NU yang pernah besar di kawasan itu, yang pengaruhnya hingga sekarang masih cukup mendalam. Dengan adanya Muktamar NU ini diharapkan gairah menggerakan NU akan semakin tinggi, sehingga NU akan semakin luas dikenal oleh masyarakat. Dengan kuatnya NU, berbagai tradisi masyarakat setempat yang mulai terkikis, mulai dari pesantren serta berbagai amalan dan ibadah khas Ahlussunnah akan bisa dilestarikan kembali. Untuk menjadi keanekaragaman budaya dan kelestarian ajaran Aswaja sendiri.
 

Atas terobosan itu, banyak kalangan memberikan penghargaannya, hanya sayang kata mereka, Muktamar masih dilaksanakan di Asrama Haji Bukan di pesantren. Padahal di sana banyak pesantren yang layak dijadikan tempat Muktamar, sebab dengan ditempati Muktamar, pesantren akan terangkat dan maju seperti beberapa pesantren di Jawa dan Nusan Tenggara yang maju dan terkenal berkat Muktamar NU. Selain itu Pesantren yang bersangkutan dengan sendirinya akan menjadi pusat gerakan NU. Itulah yang mereka harapkan, seperti pada beberapa kali Muktamar sebelumnya. (Abdul Mun’im DZ)

courtessy : www.nu.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar