Jumat, 03 April 2009

Meneguhkan Komitmen Anak Muda NU

Meneguhkan Komitmen Anak Muda NU  lewat BANOM NU


Oleh: Muhammad Khamdan, 
Ketua PAC IPNU Nalumsari dan aktif di Ponpes Al Muna Mayong Jepara 


Tujuh tahun yang lalu, badan otonom termuda di jajaran organisasi NU dalam wadah Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), merasa tergugah. dalam kongres ke-13 dan ke-12 di Maros Makasar. Pasalnya, sejak melakukan reorientasi ke arah dimensi pelajar, santri, pemuda, dan mahasiswa, kedua badan otonom ini ternyata berkembang dalam adagium la yamutu wala yahya (tidak mati dan tidak hidup).
Hasil yang sangat menarik dari ketergugahan pada kongres 23-26 Maret 2000 di atas, adalah terdorongnya peserta kongres berikutnya, kongres ke-14 IPNU dan ke-13 IPPNU di Surabaya pada Maret 2003, untuk merubah singkatan putra pada IPNU menjadi pelajar dan putra putri dalam IPPNU menjadi pelajar putri. Jelas menunjukkan adanya koherensi produktif di saat awal lahirnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003, untuk berkomitmen dalam bidang pendidikan. 
Kini, setelah empat tahun kongres di Surabaya, IPNU-IPPNU secara serentak akan menentukan jati dirinya sebagai basis pengembangan kepelajaran dan santri ataukah sekadar adagium "antara ada dan tiada". Penulis mengemukakan hal ini dengan maksud agar hal itu dibicarakan secara serius dalam wacana terbuka bagi kalangan IPNU-IPPNU. Haruskah usia yang menua lebih dari 53 tahun, hanya akan menjadi strategi pengembangan secara kultural dari praktik subaltern? Yaitu refleksi asal-asalan dalam ritual perbincangan santai tanpa rumusan aplikatif. 
Gerakan Praksis 
Dalam tradisi selama ini, kosmologi pelajar NU masih diikat dengan pandangan-pandangan tradisional an sich tanpa instrumen komunikasi yang konstruktif merespon tema-tema sosial bernuansa nasional maupun lokal. Apalagi zaman sekarang lain, dan suasana juga lain. Islam yang berlandasan semangat dinamis, semestinya diimplikasikan dalam semangat dan jiwa intelektual yang berani, terbuka dan memiliki akar yang kokoh dalam upaya pembebasan hegemoni tertentu. Dan karenanya, hampir tak mungkin tidak, pelajar NU yang mampu melaksanaknnya karena memiliki kaidah prinsipil al mukhafadzah ala qadim ash-shalih wal ahdzu bil-jadid al-ashlah (konsekuen terhadap tradisi yang baik dan menerima unsur baru yang baik). Setuju atau tidak setuju, IPNU-IPPNU masih terpasung pada tradisi daripada merespon modernisasi. 
Pada dasarnya akar gerakan perjuangan IPNU-IPPNU adalah untuk menyosialisasikan komitmen nilai-nilai kebangsaan, keislaman, dan kekaderan, yang kemudian bertambah keterpelajaran, dalam upaya untuk penggalian dan pembinaan potensi sumber daya anak muda NU, sehingga kebutuhan kader di tubuh NU diharapkan selalu surplus, yang berimplikasi positif terhadap pasokan pemimpin bangsa. 
Komitmen perjuangan untuk meningkatkan kualitas sekaligus kuantitas kader NU, semestinya mengarah pada kecerdasan nalar untuk membaca dan menganalisis kehidupan berdasarkan pendekatan prinsip moderat (attawasuth), keadilan (al i'tidal), dan berimbang (attawazun). Namun pengalaman cenderung menunjukkan, pengkaderan di tubuh NU yang dilakukan oleh IPNU-IPPNU ikut terperangkap melestarikan sektarian kultural tanpa berusaha menerangi dengan penghargaan keberbedaan, kemodernan, dan pembaharuan nalar kritis. 
Karena itu, agak mengherankan jika kader IPNU-IPPNU tiba-tiba mengklaim telah memajukan pengkaderan di tubuh NU, padahal hampir merata di seluruh kepemimpinan IPNU-IPPNU kurang berani menerima integrasi intelektual modern menuju kemajuan. Dewasa ini masih banyak kader-kader NU, termasuk IPNU-IPPNU, ikut terperangkap untuk menghindari pemikiran evolusi keagamaan dengan dalih menjaga kemurnian agama agar tidak kehilangan elan vitalnya, yaitu ketakutan terhadap wacana pluralisme, multikulturalisme, sekulerisme, liberalisme, dan wacana pembebasan lainnya. 
Satu hal lagi, persoalan agama yang menjadi fokus kegiatannya jarang bersinggungan dengan realitas problem kemanusiaan yang menimpa masyarakat. Agama terbatas maknanya pada peringatan simbolik dan ritualitas saja, seperti halnya tahlil, mauludan atau manaqiban, belum menyentuh sikap praksis terhadap masyarakat dalam dimensi kesehatan, pendidikan, dan struktur sosial lainnya. 
Harus diakui, pelajar NU merupakan salah satu komunitas yang belum menunjukkan produktifitas pembaruannya dalam merespon isu-isu kemasyarakatan. Maklum, selama ini hanya tetap sebagai organisasi yang manis dibicarakan tetapi pahit melihat sepak terjangnya. 
Multi garapan 
Selama tahun-tahun ke depan, tentu saja banyak bidang garapan yang harus direspon oleh IPNU-IPPNU. Pertama, saat ini rasanya kita diajak untuk merenungkan kembali arah pendidikan nasional yang menjauh dari ide awal, mencerdaskan dan membebaskan. Pendidikan yang semula sebagai wahana menyelesaikan problem sosial di masyarakat, justru menjadi salah satu problem itu sendiri. Pemasungan nilai kelulusan atau passing grade Ujian Nasional (UN) oleh Depdiknas, yang sekarang menjadi 5,2 justru mengesankan pendidikan sebagai proses yang mengerikan bagi peserta didik atau pendidik dan sama sekali tidak memberikan kecerdasan yang membebaskan. Akhirnya, UN dipandang sebagai titik kulminasi antara hidup dan matinya masa depan peserta didik, sekaligus pertaruhan citra dan wibawa pendidik di tengah masyarakat dalam proses pendidikan. Menganut John S Brubacher dalam History of Phylosophy Education, pendidikan nasional telah terjebak strukturalisme, yaitu angka sebagai penanda kecerdasan. Konsekuensinya, IPNU-IPPNU harus menjadi sarana pembelajaran alternatif untuk mengimbangi ketertekanan para pelajar maupun santri di sekolahan, yang terjauhkan dari kesadaran atas realitas sosial. Y.B Mangunwijaya menyebutkan bahwa proses penyadaran adalah tujuan dari pendidikan itu sendiri. (Firdaus M. Yunus, “Pendidikan Berbasis Realitas Sosial”, 2004). 
Kedua, krisis ekologi yang semakin akut menjadi tanggung jawab global, termasuk IPNU-IPPNU. Dalam tujuan skema penurunan emisi melalui pencegahan deforestasi dan degradasi (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation/ REDD) yang akan diajukan pemerintah dalam Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim di Bali pada 3-14 Desember 2007, setidaknya memperjelas begitu besar tanggung jawab masyarakat Indonesia menjaga hutan dan ekosistem alaminya (Kompas, 7/11). Dengan memperhatikan fenomena krisis global atas lingkungan, sangat penting jika persoalan juga mengarah pada pembangunan PLTN di Jepara. Bagi warga NU, PLTN bukan sekadar persoalan teknologi, tapi juga urusan fiqih melalui tradisi bahst al-masail. Dalam tradisi ini, selalu terjadi proses tashawwur, yaitu proses untuk memperoleh gambaran yang kurang lebih konprehensif atas masalah yang akan dibahas. Untuk itulah dalam kegiatannya, IPNU-IPPNU harus selalu mengintegrasikan aspek teosentris, antroposentris, dan kosmosentris, agar tidak melupakan misi pelestarian alam dan tidak melanggengkan tradisi antroposentrisme gaya Aristoteles, Thomas Aquinas, Rene Descartes, atau Immanuel Kant bahwa manusia bebas bertindak apapun karena memiliki rasio. Dus, agama akan mati, apalagi kelestarian alam. 
Ketiga, rekonstruksi keberagamaan dalam memecah kebuntuan dialektika akal dan wahyu. Sakralisasi teks agama identik sebagai tradisi pemberlakuan tafsir harfiah dan penerimaan doktrin-doktrin inti tertentu. Penafsiran harfiah tersebut cukup kuat berpengaruh pada penekanan doktrin dan ekspresi simbolik secara berlebihan dengan melarang bersinggungnya unsur sekulerisme atas agama. Doktrin agama merupakan wilayah keyakinan yang bersifat absolutis tanpa mengenal kompromi. Interpretasinya hanya akan menarik garis demarkasi antara benar-salah, lurus-sesat, atau surga-neraka. Karenanya, klaim-klaim sepihak tidak terhindarkan disertai paksaan ideologi monolitis. Praktik keagamaanpun menjelma menjadi wujud yang tidak memiliki peran apapun di luar realita manusia, hanya berkutat pada dunia yang melangit, kurang memberi kontribusi dalam dinamika kehidupan. Agama bukan untuk Tuhan tetapi untuk manusia, maka manusia berhak menginterpretasikan wahyu tidak terbatas pada teks kitab suci. Penafsiran ini perlu didukung dengan kesadaran adanya heteroginitas kehidupan, sikap ragu terhadap konsensus, dan kebenaran relativisme. Hal ini akan menumbuhkan pluralisme yang menghargai keragaman penafsiran tapi tetap dalam universalitas wahyu itu sendiri.. Satu hal yang perlu diperhatikan, rekonstruksi keberagamaan tersebut dapat terlaksana melalui pergeseran cara pandang atas agama. Tuhan tidak pernah menilai dari simbol dan retorika, pun manusia tidak akan melihat simbol agama, melainkan hal yang bersifat praksis untuk kesejahteraan umat manusia. Inilah yang ditinggalkan umat selama ini. 
Tentu masih banyak bidang garapan selain yang penulis uraikan. Semua hal di atas bukanlah hal yang mustahil dilakukan, karena akan berbanding lurus dalam menginternalisir tanggung jawab dan panggilan untuk mencerdaskan kader menuju persiapan kepemimpinan masa depan, melakukan penyegaran faham keagamaan yang mampu mengobarkan progresifitas, melakukan rasionalisasi potensi diri dan organisasi, dan menjalin kerjasama strategis yang kokoh dalam upaya penanganan krisis global. 

Sekarang, apakah itu hanya menjadi bahasan obrolan saja dalam organisasi besar sekaliber IPNU-IPPNU tanpa tindakan praksis? Lumrahlah jika disebut organisasi jagongan atau subaltern saja. Wallahul Muwafiq.

courtessy : www.ipnu.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar