Jumat, 10 April 2009

Kurikulum Pengkaderan Tentukan Kualitas Kader NU

Selasa, 7 April 2009 15:27 

Jakarta, NU Online


Ketua Umum PP Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa menyatakan kurikulum yang dibuat dalam pengkaderan organisasi pengkaderan NU seperti IPNU dan IPPNU menentukan kualitas dan kohesifitas anggota NU di masa mendatang.

“Apa yang menjadikan seorang kader bangga dengan organisasinya, berarti orang itu merasa, ada nilai yang diperoleh ketika berada di IPPNU atau IPNU, kalau tidak, ada kesalahan pada organisasinya atau kaderisasinya yang nga bener,” katanya dalam diskusi pra kongres IPPNU di Jakarta, Selasa (7/4).

Menurutnya, daya kohesifitas yang ada di NU selama ini boleh dikatakan rendah dan daya ikatnya longgar sehingga kemauan untuk saling mendukung menjadi rendah. Tak jarang, antar kader terlibat persaingan yang tidak produktif.

Sistem kaderisasi yang dimiliki oleh IPPNU, menurut mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan ini, harus menjadi bagian dari sistem kaderisasi yang dimiliki oleh PBNU secara keseluruhan, sehingga tidak bisa dibuat sendiri tanpa ditashih, yang nantinya akan menyebabkan sistem tersebut parsial jika dilihat secara makro. “Kaderisasi tidak selesai di IPPNU, tetapi merupakan bagian dari konstelasi di NU,” katanya

Upaya kaderisasi ini juga harus bersinergi dengan lembaga NU lainnya seperti Maarif NU yang mengelola pendidikan di lingkungan NU. Ia mengaku memiliki pengalaman pribadi karena sejak TK sudah diperkenalkan dengan mars IPPNU sehingga secara tidak langsung sudah diperkenalkan dengan NU.

“Anak-anak dibuat cinta pada NU lewat lagu seperti dibuat cinta Indonesia dengan lagu Indonesia Raya,” terangnya.

Kaderisasi dengan menarik anak-anak muda untuk aktif dalam kegiatan NU akan berhasil jika didasarkan pada kebutuhan kelompok tersebut, jika tidak, tak akan membuatnya tertarik untuk terlibat langsung dalam organisasi.

Ia mencontohkan, untuk anak SMP atau SMA, proses kaderisasi bisa dilakukan melalui program bimbingan belajar sementara untuk tingkat mahasiswa diperkenalkan melalui tutorial, yang selanjutnya ada proses sambung menyambung dari satu jenjang ke jenjang berikutnya.

“Ini penting untuk revitalisasi institusi. Kalau tidak punya itu, tak ada kepentingan yang menjadikannya terikat,” tandasnya.

Sejauh ini, potensi pengkaderan di jenjang sekolah menengah maupun di perguruan tinggi masih sangat besar, sayangnya, tak banyak yang menyapa atau tidak tahu harus berkomunikasi dengan siapa pada calon kader tersebut, apalagi saat ini tumbuh organisasi kepemudaan atau pengkaderan dari ormas lain yang menawarkan dirinya. “Harus ada yang mampu mendekati dari hati ke hati,” imbuhnya. 

Diceritakannya, ia pernah menghidupkan kembali PMII di Universitas Airlangga pada tahun 1984 yang fakum cukup lama. Upaya sosialisasi dengan menyebarkan brosur ke berbagai tempat strategis seperti di perpustakaan dan taman masjid ternyata mendapat sambutan dari para mahasiswa. “Sebenarnya banyak yang ingin berorganisasi, tapi kadangkala tak tahu harus ke mana atau tak ada yang menyapa,” jelasnya (mkf)

courtessy : www.nu.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar